Beberapa hari lagi, Ramadan, bulan yang ditunggu-tunggu umat muslim tiba, dulur kota Semarang.
Bulan penuh berkah dengan diisi banyak amalan ibadah. Masjid penuh jamaah dan tak jarang tumpah hingga jalanan.
Puasa, tadarus, pesantren kilat, berbuka bersama, dan seabrek
kegiatan sosial hingga pemberian zakat fitrah sebagai puncaknya di
pengujung bulan menjadi rangkaian ibadah.
Ada tradisi lokal di Semarang, dalam menyambut Bulan Berkah ini,
yakni pawai Dugderan dengan ikon Warak Ngendok, yang sangat populer.
Pawai ini sebagai ungkapan sukacita sekaligus syiar memeriahkan datangnya 1 Ramadan. Peserta pawai yang merupakan perwakilan dari sekolah, instansi
pemerintah dan swasta, hingga elemen warga masyarakat selalu menyertakan
Warak Ngendok ini.
Ukurannya beragam. Ada yang kecil seukuran mainan anak-anak. Bahkan ada yang superbesar sampai bisa dijadikan tunggangan.Tubuh Warak Ngendok ini dilapisi kertas warna-warni. Saat pawai,
ratusan peserta mengiringi Warak Ngendok ini sambil membawa hiasan
kembang manggar. Menarik sekali.
Sejak kapan ikon Warak Ngendok ini mulai muncul? Tak ada catatan pasti.
Hanya saja, konon, tradisi Dugderan ini mulai dilaksanakan sejak era
Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, pada 1881.
Saat itu, pengumuman awal Ramadan diumumkan di Masjid Kauman dengan
membunyikan beduk dan meriam berulang-ulang. Hingga akhirnya,
bunyi-bunyian itu menjadi nama sebuah tradisi Dugderan.
Untuk tahun ini, Pawai Dugderan akan diadakan Rabu (24/5) di Lapangan
Pancasila, Simpanglima dan Kamis (25/5) di Balai Kota-Masjid
Kauman-Masjid Agung Jawa Tengah.
Keberadaan Warak Ngendog yang merupakan hewan mitos diterangkan sebagai perpaduan budaya yang berkembang di Semarang. Bentuk kepala dari Warak Ngendog ini adalah Naga, yang identik dengan
budaya China. Adapun, badannya digambarkan mirip Buraq sesuai dengan
budaya Arab, dan keempat kakinya adalah milik Kambing, khas kebudayaan
Jawa.
Karenanya, tidak berlebihan bila sosok imajiner Warak Ngendok ini
sebagai simbol pemersatu kerukunan warga Semarang. Tentu saja, semangat
persatuan seperti ini yang kita butuhkan dalam keseharian.
Berbeda latar belakang suku, agama, ras dan budaya, apalagi berbeda
pendapat, bukan lagi saatnya menjadi biang perpecahan. Bila perbedaan
budaya bisa melebur pada wujud warak Ngendok, maka ada pelajaran yang
bisa gali.
Dalam kehidupan saat ini, kita berharap "semangat Warak Ngendok" yang
tertuang berupa perpaduan ragam budaya, silaturahim antarsesama,
menjaga kerukunan, saling menghargai perbedaan termasuk sebagai ibadah
sosial yang juga akan mampu mendatangkan pahala untuk kita semua.
Kita percaya beribadah bukan semata-mata hablun min Allah
(berhubungan dengan Tuhan), melainkan juga hablun min annas (berhubungan
dengan sesama manusia).
Bagaimana pun keragaman sudah menjadi hal biasa. Yang tidak biasa adalah cara kita arif menyikapi keragaman tersebut.
Sumber bisa klik DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar