Senin, 22 Mei 2017

DUGDERAN TRADISI KHAS KOTA SEMARANG MENJELANG RAMADHAN

            Beberapa hari lagi, Ramadan, bulan yang ditunggu-tunggu umat muslim tiba, dulur kota Semarang.
Bulan penuh berkah dengan diisi banyak amalan ibadah. Masjid penuh jamaah dan tak jarang tumpah hingga jalanan.
            Puasa, tadarus, pesantren kilat, berbuka bersama, dan seabrek kegiatan sosial hingga pemberian zakat fitrah sebagai puncaknya di pengujung bulan menjadi rangkaian ibadah.
Ada tradisi lokal di Semarang, dalam menyambut Bulan Berkah ini, yakni pawai Dugderan dengan ikon Warak Ngendok, yang sangat populer.
            Pawai ini sebagai ungkapan sukacita sekaligus syiar memeriahkan datangnya 1 Ramadan. Peserta pawai yang merupakan perwakilan dari sekolah, instansi pemerintah dan swasta, hingga elemen warga masyarakat selalu menyertakan Warak Ngendok ini.
            Ukurannya beragam. Ada yang kecil seukuran mainan anak-anak. Bahkan ada yang superbesar sampai bisa dijadikan tunggangan.Tubuh Warak Ngendok ini dilapisi kertas warna-warni. Saat pawai, ratusan peserta mengiringi Warak Ngendok ini sambil membawa hiasan kembang manggar. Menarik sekali.
            Sejak kapan ikon Warak Ngendok ini mulai muncul? Tak ada catatan pasti. Hanya saja, konon, tradisi Dugderan ini mulai dilaksanakan sejak era Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, pada 1881.
            Saat itu, pengumuman awal Ramadan diumumkan di Masjid Kauman dengan membunyikan beduk dan meriam berulang-ulang. Hingga akhirnya, bunyi-bunyian itu menjadi nama sebuah tradisi Dugderan.
Untuk tahun ini, Pawai Dugderan akan diadakan Rabu (24/5) di Lapangan Pancasila, Simpanglima dan Kamis (25/5) di Balai Kota-Masjid Kauman-Masjid Agung Jawa Tengah.
            Keberadaan Warak Ngendog yang merupakan hewan mitos diterangkan sebagai perpaduan budaya yang berkembang di Semarang. Bentuk kepala dari Warak Ngendog ini adalah Naga, yang identik dengan budaya China. Adapun, badannya digambarkan mirip Buraq sesuai dengan budaya Arab, dan keempat kakinya adalah milik Kambing, khas kebudayaan Jawa.
            Karenanya, tidak berlebihan bila sosok imajiner Warak Ngendok ini sebagai simbol pemersatu kerukunan warga Semarang. Tentu saja, semangat persatuan seperti ini yang kita butuhkan dalam keseharian.
Berbeda latar belakang suku, agama, ras dan budaya, apalagi berbeda pendapat, bukan lagi saatnya menjadi biang perpecahan. Bila perbedaan budaya bisa melebur pada wujud warak Ngendok, maka ada pelajaran yang bisa gali.
            Dalam kehidupan saat ini, kita berharap "semangat Warak Ngendok" yang tertuang berupa perpaduan ragam budaya, silaturahim antarsesama, menjaga kerukunan, saling menghargai perbedaan termasuk sebagai ibadah sosial yang juga akan mampu mendatangkan pahala untuk kita semua.
            Kita percaya beribadah bukan semata-mata hablun min Allah (berhubungan dengan Tuhan), melainkan juga hablun min annas (berhubungan dengan sesama manusia).
Bagaimana pun keragaman sudah menjadi hal biasa. Yang tidak biasa adalah cara kita arif menyikapi keragaman tersebut.


 Sumber bisa klik DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DUGDERAN TRADISI KHAS KOTA SEMARANG MENJELANG RAMADHAN

            Beberapa hari lagi, Ramadan, bulan yang ditunggu-tunggu umat muslim tiba, dulur kota Semarang. Bulan penuh berkah dengan diisi ...